Review Sri Asih ini saya coba buat dengan berusaha menghindari spoiler. Setelah cukup puas dengan Gundala, saya beneran menunggu Sri Asih yang sempat muncul beberapa detik untuk mengempaskan mobil dan membantu si Putra Petir. 

Penantian tiga tahun akhirnya terbayar minggu lalu, hasilnya biasa-biasa saja. Sri Asih tetap layak tonton dan juga Pevita Pearce sangat mumpuni sebagai superhero perempuan ini, tetapi yang saya sayangkan adalah alurnya yang nanggung dan terburu-buru di banyak bagian dan plot twist yang kurang berhasil. Untung saja, para pemerannya punya kharisma dan penjiwaan yang menyelamatkan film ini.

Sebuah Premis Menjanjikan, Kurang Maksimal Pengembangan

Sri Asih dibuka dengan adegan dua orang tua kandungnya yang sedang berkunjung di lereng gunung Merapi. Ibu kandung Sri Asih ngidam ingin ke sana karena ia selalu bermimpi tentang gunung tersebut. Setelah dipotret bersama, muncul musibah alam yang tidak terduga. Gunung Merapi erupsi, kedua orang tua Sri Asih sempat melarikan diri dengan mobil, tetapi situasi gelap membuat mobil itu menabrak pohon dan menewaskan ayah Sri Asih.

Seorang nenek tua membantu ibu Sri Asih untuk melahirkan meskipun itu belum masuk bulan kelahiran. Saya merasa tegang ketika melihat gumpalan awan erupsi panas dari Merapi berubah wujud menjadi sebuah wajah monster. Sri Asih  sudah dikejar-kejar musuh sejak masih di dalam kandungan.

Waktu melompat ketika Sri Asih yang memiliki nama Alana berusia anak-anak. Ia bermimpi buruk tentang monster api yang membuatnya ketakutan dan emosinya mudah terpicu. Sayangnya, masa kanak-kanak Alana kurang dieksplorasi sehingga ini seolah hanya sebagai pemanis saja. 

Berbeda dengan Gundala yang bisa mengikat perasaan saya sebagai penonton semenjak kanak-kanak. Kita bisa menonton bagaimana takutnya Gundala pada petir lalu betapa sakitnya ia harus kehilangan orang tua satu demi satu karena kekejaman kehidupan. Humanismenya sangat terasa di sini. Selain itu, masa ketika Gundala sempat berlatih bela diri di stasiun kereta kosong, membuat empati jadi tumbuh.

Ibu angkat Alana keren bener


Alana yang pemarah di masa kanak-kanak, lalu diadopsi wanita berada yang menyayanginya seperti anak kandung. Kemudian, masanya berlalu ketika ia dewasa dan menjadi petarung profesional di atas ring. Nah, sosok monster api yang disebut Dewi Api ini rupanya muncul lagi setelah bertahun-tahun sempat hilang. Ada plot hole di sini. Mengapa Dewi Api yang begitu menginginkan Alana saat masih bayi dan anak-anak sempat mengalami masa pause? Apakah ada hubungan dengan usia tertentu dari Alana?

Musuh Medioker yang Terlalu Mudah Dikalahkan

Ada sosok villain yang (niatnya) mau dibuat mengecoh pentonton, tetapi bagi pecinta film superhero mungkin bisa menebaknya sejak si tokoh baik ini bertemu dengan binatang aneh di paruh pertama film. Tokoh villain yang semula dianggap sebagai otak utama kejahatan, terlalu mudah dikalahkan. Bahkan, ada adegan Alana yang bertarung dengan melanggar pantangan dari ibu angkatnya, mendadak sangat mudah percaya dengan sebuah organisasi yang mengklaim jika mereka pembela Sri Asih.

Inkonsistensi karakter ini saya rasa menjadi pekerjaan rumah dari penulisnya. Plot yang melompat-lompat lalu kurangnya waktu untuk mendalami motif dan konflik batin tokoh, membuat saya jadi kurang terikat dengan misi Alana sebagai Sri Asih. Untungnya lagi, ada dua sosok pemuda yang kelihatannya naksir Alana dan rela mendampingi Sri Asih menumpas musuh-musuhnya. Untuk pahlawan sekeren Sri Asih, rasanya berlebihan jika ia harus menggunakan kekuatan Sri Asih untuk melawan musuh lemah sekelas bos gangster.




Pertarungan baru kelihatan seru setelah ia bertemu otak utama dari segala kekacauan. Saya salut dengan sinematografinya dan butuh sentuhan lebih halus untuk urusan CGI-nya. Pada bagian pertarungan, saya sangat puas menikmati dialog dan juga jurus-jurusnya yang mayoritas menggunakan sistem pertandingan jarak dekat. Soal Pevita, cantiknya bukan main. Auranya juga meyakinkan sebagai seorang superhero.

Overall, review Sri Asih ini saya buat karena saya suka dengan Sri Asih, tetapi kurang suka dengan plotnya. Film ini tidak jelek, tetapi juga tidak membuat saya bertepuk tangan. Saya tunggu film lain dari jagad BCU dan semoga kekurangan di Gundala dan Sri Asih bisa diperbaiki secara maksimal. I love Indonesian superheroes! (Baca Juga: Review Gundala)



1 Komentar

  1. Sayangnya aku ga sempet nonton pas masih di bioskop. Tadi liat dari trailer, kliatan sih menarik mba. Apalagi pemainnya memang ga main2 juga. Jadi aku yakin aktingnya pasti bagus. Kalo masalah plot holes , semoga bisa diperbaiki di film sekuel berikutnya Yaa. Aku berharap ini masuk Netflix biar aku bisa tonton juga 😄

    BalasHapus

Silakan berkomentar dengan sopan tanpa menyinggung SARA, ya ^_^