A brilliant, light, and warm superhero movie! Itulah kalimat singkat yang mengusung kekaguman saya pada film Shazam. Shazam memberikan warna baru di kalangan DC Fans (termasuk saya) dengan unsur cerita yang membuatnya bisa diterima seluruh lapisan penonton. Salut untuk perkembangan film DC yang sering dianggap kalah menarik daripada superhero Marvell. Tetapi menurut saya sejak masa Wonderwoman dan Aquaman, DC membuat film-filmnya jauh lebih segar.

Film dibuka dengan keluarga Sivana yang sedang dalam perjalanan liburan natal ke rumah nenek, settingnya tahun 70-an. Si anak bontot bernama Thaddeus selalu diremehkan oleh ayah dan kakaknya, ya ibaratnya dibully. Si Thaddeus ini tipe bocah yang suka berimajinasi dan juga minder, ditambah sosok kakaknya yang bongsor membuat anak ini semakin ditekan.

Di tengah perjalanan, mendadak ayah dan kakak Thaddeus lenyap dan mobil mereka berpindah di sebuah tempat asing. Dari sini saya tertarik dengan settingnya yang terasa sekali suasana ala Harry Potter. Seorang laki-laki tua berambut gondrong dan menggunakan jubah nyentrik, mengatakan jika dirinya butuh pewaris sihir untuk menjaga agar iblis 7 Deadly Sins (7 Dosa Terburuk) tidak kabur dan membawa petaka di dunia.

Bukannya menerima sihir dari si kakek aneh, Thaddeus malah tertarik untuk mengambil sebuah bola sihir yang disebut The Eye of Envy. Tindakannya dipicu oleh bisikan-bisikan patung perwujudan 7 Deadly Sins, sehngga menunjukkan jika Thaddeus tidak memiliki hati murni untuk menjadi pewaris sihir. Bocah itu kembali ke dunianya, mengoceh dan berteriak untuk kembali ke dunia sihir sampai ayahnya panik dan mereka mengalami kecelakaan. Si ayah pun lumpuh akibat kecelakaan.

Plot berpindah ke masa kini. Billy Batson, remaja berumur 14 tahun ditangkap karena mencoba menipu polisi serta berulangkali kabur dari rumah keluarga angkatnya. Akhirnya di percobaan terakhir, si Billy Batson dipertemukan pasangan baik yang memiliki beberapa anak angkat. Mulanya Billy begitu canggung, baginya keluarga angkat itu keluarga palsu. Billy sering kabur untuk mencari ibu kandungnya yang terpisah ketika ia masih kecil.

Di sekolah baru, Billy membantu saudara angkatnya Freddie saat Freddie sedang dibully siswa sekolah lain. Billy dikejar anak-anak nakal itu lalu masuk ke kereta bawah tanah. Mendadak seisi kereta lenyap, kaca jendela dilapisi es, dan Billy terdampar di dunia sihir. Ia pun terbukti memiliki hati yang murni dan berhak menjadi pewaris sihir bernama Shazam. Menariknya lagi, ketika Billy bertransformasi menjadi Shazam (Zachary Levi), tubuhnya berubah menjadi pria tinggi kekar dan kostum ketat warna mencolok. Di sinilah dimulai adegan penuh tawa yang menghibur saya hingga film berakhir.


Niatnya ngebir, ealah malah mereka muntah lalu beli soda, LOL

Meski disebut film superhero, saya rasa film Shazam ini memang ditujukan sebagai film keluarga. Adegan baku hantamnya tidak terlalu keras, alur cerita yang menitikberatkan pada kepolosan dan kenakalan bocah abege, dan makna keluarga yang tak selalu dari hubungan darah lebih ditonjolkan. Shazam adaah seorang superhero gagah dengan jiwa anak-anak. Jadi di awal baru memiliki kekuatan, Billy dibantu Freddie mencoba satu per satu kekuatan apa yang dimilikinya.

Jangan mencari bumbu romansa karena di sini tokoh utamanya adalah Billy dan keluarga angkatnya. Si Thaddeus yang kini menjadi pria dewasa, bekerjasama dengan iblis 7 Deadly Sins untuk menguasai dunia. Diremehkan dan direndahkan bertahun-tahun membuat jiwa Thaddeus hanya dipenuhi kebencian pada kakak dan ayahnya. Ia tega membunuh keluarganya sendiri setelah memiliki kekuatan iblis.

Adegan komedinya terbangun justru antara Freddie dan Bily. Yang namanya anak remaja kekinian, ketika punya sesuatu keren sedikit pasti ingin pamer, mereka berdua juga seperti itu. Sambil sesekali memberantas kejahatan kecil—itu pun tidak sengaja bertemu—mereka malah membuat akun khusus memamerkan kekuatan Shazam di Youtube.

Thaddeus lebih mudah menemukan Shazam lebih cepat karenaa publikasi ceroboh si duo bocah tukang pamer itu.

“You are a SUPER VILLAIIN!!” teriakan Freddie yang maniak berbagai tokoh superhero ini membuat saya geli. Meskipun Thaddeus jelas-jelas menyeramkan, ia seolah terkesima karena akhirnya bertemu penjahat super sungguhan. Antara takut dan histeria senang sepertinya. Justru pertemuan dengan Thaddeus membuat Billy akhirnya tahu untuk apa seharusnya kekuatan Shazam digunakan, bukannya untuk ajang foto bareng lalu meminta bayaran dari orang lain.



Sinematografinya memang tidak terlalu bagus, padahal film Aquaman lalu sangat luar biasa pembuatan setting bawah lautnya. Kelebihan film ini justru di setting dunia sihir yang membuat saya bernostalgia dengan Harry Potter. Tone film juga dipenuhi warna cerah, tidak sesuram film DC lainnya. Tidak menyangka saja jika film yang digawangi David Sandberg bisa menghibur, padahal ia dikenal justru dari film arahannya yang bertema horor seperti Lights Out dan Annabelle: Creation.

Ending Shazam mudah ditebak, tetapi masih ada bagian-bagian twist yang membuat saya berdecak kagum karena tidak terduga sejak awal. Film yang mengeksplor kesetiakawanan, ikatan keluarga dan betapa berbahayanya benih kebencian sejak dini. Kita bisa mengubah orang baik menjadi buruk, tertekan hingga sejahat monster karena kalimat-kalimat beracun yang kita lontarkan. Namun untuk menjadi baik juga sebuah pilihan, meski kita berada di situasi yang tidak baik.

Shazam is a great choice to make you aware about toxic relationship and family support.


0 Komentar