Gundala adalah sindiran satir untuk kondisi sosial masyarakat kini—terutama untuk pemerintah—namun dibalut cantik dalam suasana film superhero rasa lokal. Sebagai penggemar film superhero DC, saya suka elemen gelapnya dan dialog berisi yang membuat otak berpikir. Mungkin bagi para pengabdi pahlawan dari Marvel, merasa film Gundala memang DC banget jadi kurang ringan. Bagi saya dengan kondisi sosial masyarakat seperti sekarang, maka unsur DC lebih cocok.

Film dibuka dengan demo buruh pabrik yang dipimpin ayah Sancaka (Rio Dewanto). Sancaka kecil berlari-lari membuntuti rombongan ayah dan kelompok buruh lainnya untuk menuntut peningkatan kesejahteraan. Sancaka bertanya buat apa repot-repot berdemo, yang paling penting bekerja saja. Ayahnya berkata jika sebagai manusia lalu diam saja ketika melihat ketidakadilan di depan matanya, maka ia bukan sebenarnya manusia.

Hal itu terus menancap di diri Sancaka kecil sampai akhirnya ia melihat bagaimana ayahnya yang berjuang demi kawan sesama buruh malah dijebak dan dibunuh. Kepergian ibunya yang mendadak pun mengantarkan Sancaka ke kehidupan keras ibu kota dan membentuk kepribadian Sancaka hingga dewasa.

Permainan Sub-plot Yang Terjalin Rapi

Selain dari pemilihan aktor dan aktris yang sangat mumpuni, saya suka dengan cara Joko Anwar menyulam kisah Sancaka dan tokoh penting yang berhadapan dengannya dalam sub-plot berbeda namun masih menjadi satu benang merah. Sosok Pengkor yang ditakuti oleh para pejabat negara, ditunjukkan juga penyebabnya mengapa bisa menjadi sosok yang sadis sekaligus logis.

“Bagi kita Pengkor mungkin ditakuti, tapi bagi anak-anak yatim itu ia bisa disamakan dengan Tuhan.” 

Begitu kita-kira kata Ridwan Bahri (Lukman Sardi) kepada salah satu koleganya.

Pengkor tumbuh dari masa kecil yang pahit dan dari otak cerdasnya yang setara dengan kelicikan Sengkuni, bisa menjadi pimpinan untuk anak yatim lainnya. Mereka disekolahkan dan diberi hidup layak sekaligus dilatih Pengkor untuk menjadi mesin pembunuh jika diperlukan. Loyalitas terhadap Pengkor sudah menyerupai manusia kepada junjungannya.

Image result for gundala
Sancaka yang Bekerja Sebagai Security

Dari dua sisi kita diberi cerita humanisme yang berbeda. Sancaka (Abimana Aryastaya) dan Pengkor (Bront Palarae) menjalani hidup keras serta tidak menyenangkan, tetapi mereka memilih jalan tidak serupa. Sancaka cenderung menghindar dan penakut karena tidak ingin terlibat masalah dengan orang lain, sedangkan Pengkor maju dengan gagah berani namun dengan cara yang gelap.

Scene Stealer yang Kalimatnya Selalu Filosofis 

Setting Kuat, Action Kurang Meyakinkan

Dari setting demonstrasi di Jakarta itu suasananya seolah menggambarkan situasi kerusuhan 98. Ditambah kerasnya hidup di jalan dengan premanisme yang mengakar, membuat Jakarta mirip kota Gotham. DC-nya dapat banget. Ketegangan tak hanya dibangun dari perjuangan Gundala melawan musuh-musuhnya, tetapi juga krisis sosial dan politik yang memanaskan suasana.

Joko Anwar pun menempelkan unsur film Pengabdi Setan melalui plot mimpi buruk Sancaka dan lagu yang didengar adik Wulan (Tara Basro). Warna gelap yang mendominasi pengambilan gambar kadang membuat saya seperti menonton film horor di tahun 90-an. Chemistry Sancaka dan Wulan pun sangat manis, kualitas akting Pengkor serta semua pemain tentu tak perlu dikomentari. Semuanya top. Dialog humornya juga menggelitik.

Sayangnya untuk adegan action, pace-nya masih lambat. Lebih menegangkan ketika Sancaka dikejar petir daripada ketika sedang berkelahi. Untuk special effect sudah lumayan, walau ada beberapa bagian yang kurang halus.

Penonton juga harus cermat dalam mengamati seluruh hint yang tersebar di film. Mengapa petir selalu mengejar Gundala sejak kecil, lalu bagaimana Wulan nantinya menjadi sosok pahlawan bernama Merpati, dan musuh utama yang ditulis dalam aksara jawa itu apa hubungannya dengan Gundala, serta masalah lain yang belum terpecahkan. Film ini masih sebagai pembuka jadi pertanyaan itu harus kita simpan dan catat agar tidak lupa ketika sekuelnya tayang.

Image result for gundala wulan
Menunggu Si Wulan Jadi Superhero juga (Haduh Cantik dan Eksotik Bangeet)
Secara keseluruhan saya angkat dua jempol untuk film Gundala. Abimana jadi berkali lipat kegantengannya di sini. Dia bisa membawakan sosok Sancaka yang menanggung luka masa kecil sekaligus keinginan untuk peduli pada kesulitan orang lain. Sosok patriot yang berasal dari rakyat kecil  memang jauh lebih membumi. It is a great opening from Bumi Langit Universe. Saya tunggu film-film superhero berikutnya!

6 Komentar

  1. Wah bagus banget nih ya Mbak film Gundala yang satu ini. Jadi, pingin nonton nih

    BalasHapus
  2. wah bagus ya, penasaran . ada sisi lain yg dilihat dari sini

    BalasHapus
  3. wahhh..keren banget kayaknya. senang kalau ada tokoh superhero dari indoesia. dan lagi saya suka abimana he...he...

    BalasHapus

Silakan berkomentar dengan sopan tanpa menyinggung SARA, ya ^_^